Implikasi Luas Jika Gagal Menjaga Stabilitas Harga

Sementara itu, seorang analis ekonomi mengatakan inflasi yang rendah lebih merupakan akibat dari daya beli yang rendah. Inflasi yang rendah akan mencerminkan keberhasilan jika disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, seorang peneliti dari Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), kata Eko Listyanto. Faktanya adalah inflasi yang relatif rendah tidak disertai dengan percepatan pertumbuhan ekonomi, oleh karena itu inflasi yang rendah lebih merupakan cerminan dari daya beli yang rendah, kata Eko.

Implikasi Luas Jika Gagal Menjaga Stabilitas Harga. Dia mengatakan saat ini bagian terbesar dari pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah adalah untuk makanan. Jika pemerintah gagal menjaga stabilitas harga pangan implikasinya akan luas. Permintaan akan produk non makanan akan menyusut pada daya beli yang lemah.

Daya beli yang menyusut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang rendah karena konsumsi rumah tangga masih merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara.

Pertumbuhan ekonomi terperangkap pada 5 persen meskipun suntikan peningkatan belanja oleh pemerintah menunjukkan stimulus anggaran yang lemah. Efeknya adalah keterlambatan dalam rencana investasi dengan investor memilih untuk menunggu dan melihat mengakibatkan penurunan posisi negara dalam indeks bisnis yang mudah dilakukan.

Sementara itu, negara tersebut diperkirakan tidak akan dapat berbuat banyak dalam meningkatkan kinerja ekspornya pada tahun 2019 dengan turbulensi ekonomi global yang berkepanjangan terutama sebagai akibat dari perang perdagangan AS-China. Kondisi pasar global belum menguntungkan untuk memungkinkan Indonesia meningkatkan ekspornya secara signifikan. Pertumbuhan ekonomi di mitra dagang utama negara itu termasuk Amerika Serikat, Cina dan Eropa diprediksi melambat sehingga ekspansi ekspor ke negara-negara itu tidak mungkin seperti yang diharapkan.

Related articles: @- @- @- @- @- @-.

Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperkirakan ekonomi Tiongkok akan lebih lambat dalam pertumbuhan dari 6,5 persen pada 2018 menjadi 6,2 persen pada 2019, dan pertumbuhan ekonomi AS diperkirakan lebih rendah pada 2,5 persen dari 2,9 persen pada 2018.

Demikian pula, Uni Eropa diprediksi mencatat pertumbuhan pelambatan hanya 2 persen dari 2,2 persen pada 2018.

Bahkan ASEAN diprediksi akan mengalami koreksi dalam pertumbuhan ekonominya dari 5,3 persen pada 2018 menjadi 5,2 persen pada 2019.

Perlambatan ekonomi di mitra dagang utama kemungkinan akan melemahkan permintaan impor oleh negara-negara tersebut. Pada saat yang sama harga sejumlah komoditas ekspor dari Indonesia seperti minyak sawit, karet, dan batubara cenderung menurun. Sementara itu, negara-negara tujuan ekspor utama termasuk Amerika Serikat, Eropa dan India mengadopsi kebijakan impor yang lebih protektif.

Faktanya, indikasi penurunan ekspor ke pasar-pasar utama telah terlihat sejak awal 2018. Dalam 10 bulan pertama tahun ini, ekspor komoditas negara itu selain minyak dan gas hanya tumbuh 3,7 persen dibandingkan dengan pertumbuhan 10,3 persen yang tercatat di periode tahun lalu. Ekspor komoditas selain minyak dan gas ke China masih tumbuh 22 persen tetapi itu kurang dari setengah dari pertumbuhan yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.

Depresiasi rupiah tidak banyak berpengaruh pada ekspor. Biasanya, penurunan nilai rupiah akan mendorong ekspor. Lebih buruk lagi adalah kinerja dalam ekspor barang-barang manufaktur. Ekspor barang-barang manufaktur hanya tumbuh 5 persen dibandingkan dengan pertumbuhan 22 persen yang tercatat untuk ekspor komoditas pada periode Januari-Oktober tahun ini.

0 comments


Post a Comment

Implikasi Luas Jika Gagal Menjaga Stabilitas Harga